Pages

Rabu, 30 Desember 2015

Etika Berkomunikasi dalam Islam



Islam memang mengatur semua yang dibutuhkan manusia untuk hidup di dunia ini, dari mulai perkara terkecil hingga yang terbesar, islam menerangkannya secara terperinci dalam al-qur’an dan as-Sunnah termasuk etika dalam berkomunikasi. Seorang Muslim harus memiliki etika dalam berkomunikasi sebagai berikut :
1.      Qoulan Ma’rufa
Yaitu berkomunikasi dengan bahasa yang baik, tidak menggunakan kata-kata yang kasar serta perkataannya mengandung kebenaran atau fakta. Seperti contoh, jika sedang berada di situasi yang sedang rumit, maka berkata dengan baik akan mendatangkan ketenangan dibandingkan jika harus berkata dengan perkataan yang lebih buruk.
Sebagaimana firman Alloh Swt berikut :
Artinya : “..Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia..” (Q.S Al-Baqoroh : 83).
2.      Qoulan syadida
Yaitu perkataan yang tidak memberikan informasi atau berita dusta, perkataan bersifat jujur. Seperti contoh, jika seseorang ditanyakan tentang suatu kejadian maka ia berkata sesuai dengan keadaannya, tidak menambahkan dengan sesuatu yang lain dan tidak menguranginya.
Sebagaimana firman Alloh Swt berikut :
Artinya : “..Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta..” (Q.S al-Hajj : 30)
3.      Qoulan Layyina
Yaitu berkata dengan lemah lembut (tidak kasar) atau tenang ketika mengingatkan atau pun dapat diartikan mampu menahan emosi saat marah. Seperti contoh, jika seorang Ibu melihat anaknya memecahkan gelas kaca, maka dengan lembut mengingatkannya untuk hati-hati tidak lantas memarahinya.
Sebagaimana firman Alloh Swt berikut :
Artinya : “Maka berbicaralah kamu berdua kepada (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar dan takut”. (Q.S Tha Ha : 44)  
4.      Qoulan Masyuro
Yaitu perkataan yang bermanfaat hingga membekas di komunikan, kata-kata dapat berupa nasehat atau simbol kasih sayang. Contonya, seorang konselor memberikan nasihat atau semnagat yang dapat dijadikan sebagai kata-kata motivasi bagi pasien.

Sebagaimana firman Alloh Swt berikut :
Artinya : “..Dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (Q.S An-Nisa : 63)
5.      Qoulan Baligho
Yaitu berkata dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh komunikan, berbicara dengan lugas dan simple atau tidak berbelit-belit serta efektif. Seperti contoh ketika sedang menerangkan sesuatu maka di persiapkan kata-kata yang mudah dipahami oleh komunikan dengan arti lain menggunakan bahasa yang sama antara komunikan dengan komunikator.
Sebagaimana firman Alloh Swt berikut :
Artinya : “..Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengan bahasa kaumnya..” (Q.S Ibrahim : 4)
6.      Qoulan Karima
Yaitu berkata dengan Sopan santun (ucapan mulia) dalam berkomunikasi, tidak bersifat menyakiti komunikan. Seperti contoh, jika sedang berbicara di dalam forum maka perkataan yang digunakan harus bersifat sopan.
Sebagaimana firman Alloh Swt berikut :
Artinya : “..Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Q.S Al-Isro : 23)

 Retorika Dakwah - Imam Suprabowo S.S M.Si

Kamis, 24 Desember 2015

Jogja Istimewa


Yogyakarta,
Ruang yang tak terbatas, Ilmu yang beterbangan di terpa angin, senja yang merona di ujung pantai, sejarah yang tak pudar dari ingatan. 
Kini aku berada di tengah-tengah kemeriahannya. Menerpa jalan jihad dalam mencari Ilmu, bersliaturahmi dengan kawan se-Nusantara 
Tak lupa, pesona keindahan yang takan pudar dalam ingatan sepanjang jalan. 
Jogjaku, Gamsahamnida..

Jumat, 18 Desember 2015

Cerpen



Wonderful of Change
Mentari telah terbit diufuk timur, cahayanya menembus celah-celah jendela rumah Elna. Elna pun terbangun dan berkata lirih, sholat subuhnya kesiangan lagi. Sudah seminggu Elna tidur hingga larut malam demi menyelesaikan level tertinggi dalam permainan yang ada di laptopnya. Padahal setiap harinya ia harus kuliah pukul 07:00 di sebuah Universitas swasta yang ada di Bandung.
Setelah rapih ia pun bergegas dengan sepeda motor menuju kampus, di tengah perjalanan ban motornya bocor, padahal hari kemarin ia tahu bahwa motornya telah gembes. Terpaksa pagi ini ia harus mendorong motornya hingga menemukan bengkel. Hatinya berbisik kesal, alhasil ia pun tidak bisa mengikuti dua mata kuliah. Keringatnya mengalir bergitu saja, mengenai bajunya hingga basah. Sesekali angkot melintas dihadapannya, terpikir untuk manaiki angkot untuk sampai di kampus. Namun ia khawatir jika harus meninggalkan motornya di pinggir jalan, karena motor itu hadiah dari Neneknya. Kurang lebih dua kilo akhirnya ia mendorong motornya ia pun menemukan bengkel.
Ada sebuah pesan masuk dari temannya, Tera.
”Na, sore ini naskah dramanya sudah selesaikan? Kata bu Hayati kumpulinnya di aula.”
Tangannya pun menepuk dahi, naskah dramanya belum ia kerjakan sama sekali, hitungan persennya hanya 2%, tepatnya judul besarnya saja. Ia membuka tasnya, melihat lembaran-lembaran kosong untuk naskah drama. Hatinya ingin menjerit, bagaimana menyelesaikannya. Setelah dua jam menunggu, motornya telah selesai diperbaiki. Seketika ia akan membayar biaya bengkel, ia mencari dompet di tas dan saku bajunya, tapi dompetnya ketiggalan di rumah, dan alhasil pihak bengkel memimta kartu mahasiswanya sebagai jaminan. Dengan sepeda motornya ia melaju menuju kampus untuk bertemu Tera dan mengerjakan naskah dramanya untuk disetorkan pada Bu Hayati sore ini.
Sepanjang perjalanan dia memikirkan tentang apa yang terjadi pada hari ini, seakan-akan hari ini waktu berlari lebih cepat dari biasanya, mungkinkah mentari terlalu rajin bersinar. Ahh, semua itu belaka. Ia mengingat apa saja yang selama ini ia telah lakukan, hingga akhir-akhir ini ia selalu kesiangan sholat subuh, tugasnya terbengkalai, dan tidak peka terhadap persiapan dalam perkuliahan.  
Setibanya di kampus, Tera telah duduk menunggu di bawah pohon mangga dengan lembaran-lembaran kertas naskah miliknya.
“Maaf, ban motorku bacor jadi aku tidak bisa ikut kuliah Pak Dino dan Agi. Dan naskahku masih selesai ra, gimana nih?”
“Tugas buat naskah kan sudah seminggu yang lalu di kasih bu Hayati, kamu selama ini kemana aja neng, jangan bilang kamu fokus dengan permainan yang di laptopmu?”
“Iya nih ra, semenjak aku punya permainan itu. Aku tidak bisa mengontrol waktuku, bahkan sholat subuh pun akhir-akhir ini selalu kesiangan.”
“Lalu, sekrang kamu bawa laptop?”
            Elna pun menyerahkan laptopnya pada Tera, dan Tera pun langsung membuka file permainan itu dengan klik kanan lalu DELETE. Hilanglah permainan itu dari laptop Elna. Walaupun pada awalnya Elna sempat marah padanya, tapi ia sadar bahwa penyakit yang merenggut fokus dan waktunya adalah permainan itu. Sebagai gantinya telah menghapus permianan Tera pun membantunya menyelesaikan naskah drama.
            Beberapa hari setelah hilangnya file permainan itu, kini Elna lebih sering menggunakan laptopnya dengan menulis, sekitar tiga naskah drama bahkan naskah sebuah film telah berhasil ia tulis di waktu luangnya. Dan kini ia pun merasa bahwa mentari terlalu malas untuk bersinar. Dan hari ini ia baru ingat kalo kartu mahasiswanya ada di bengkel kemarin, ia pun melaju dengan motornya.
            Setelah kartu mahasiswanya ia dapat, ia pun berangkat menuju toko buku langganannya. Di estalase toko ia melihat ada brosur akan datangnya seorang produser film ternama di Indonesia, Mira Lesmana. Kedatangan Mira Lesmana ke daeranya dalam rangka fun meeting film barunya. Elna pun merasa bahwa ini ada kesempatan untuk mengenalkan naskah film yang kemarin telah dibuatnya.    
            Inilah bagaimana sosok Elna yang berani dalam membuat perubahan di hari-harinya dan mengambil kesempatan yang ada, waktu yang ada mulai bersahabat dengannya, dan pergilah jauh permainan yang menghantam waktunya. J
Yogyakarta, 24 Maret 2015

Sastra Cerpen



Hijab Himalaya
Diatas langit sana, langit senja menjadi saksi diatas segalanya. Merahnya menyalakan semangat yang membara, walau berjuang melawan rintihan keringan dari aktivitas pagi yang sangat melelahkan. Sepeda tua terus dikayuhnya, beberapa kali ia harus terhenti meninggalkan sesuatu didepan rumah tetangga di lingkungan kosnya. Hatinya merasa bahwa hidup kini benar-benar berarti. Walaupun usianya masih sangat muda, namun ia berbeda dengan remaja yang ada sekeliling kosnya. Sosok yang sangat dirindukan kepulangannya oleh keluarga di kampung. Ia seorang mahasiswa yang kuliah di daerah kota, anak dari seorang pengusaha kaya di desanya. Namun, tak pernah sedikit pun ia meminta-minta apapun dari kedua orang tuanya, karena setiap harinya pun ia bekerja paruh waktu di sebuah swalayan yang dekat dengan kampusnya. Dan pekerjaannya itu, ia sembunyikan dari orang tuanya, karena orang tuanya telah memberi amanah agar ia tidak bekerja sambil kuliah. Namun, apalah daya, dorongan motivasi seorang motivator melekat di ingatnannya, hingga ia pun mencoba untuk bekerja sambil kuliah. Menjadi anak satu-satunya bukan berarti harus merasa bahwa segalanya akan terpenuhi, bukankah menjadi anak satu-satunya perlu kekhawatiran, kemanakah akan berlabuh saat orang tua telah pergi jauh. Itulah yang selalu menjadi ingatan di memorinya, dan sejatinya ia tidak pernah ingin sendiri. Jika bisa berbisik, ia ingin mempunyai seorang kakak yang akan menghapus airmatanya dan seorang adik yang akan senantiasa memberikannya senyuman setiap hari, lalu apadaya dengan Qodharulloh.
Setelah semuanya selesai, ia bergegas pergi ke masjid untuk sholat dan mengajar anak-anak TPA, inilah salah satu cara menghilangkan kesepiannya. Bersama sahabatnya ia mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anak yang masih sangat kecil, mulai dari Iqro hingga Al-qur’an. Terkadang ia benar-benar lelah menghadapi anak-anak karena sifat sejatinya mereka yang tak bisa lepas dari bermain. Berlari-lari mengelilingi serambi masjid, lalu ada yang jatuh dan menangis. Namun, ini adalah bukti kasih sayang Alloh untuknya.
Sahabatnya, adalah seorang pemilik kos tempat ia tinggal, dan ia pun seseorang yang berhijab. Dari sahabatnya lah ia mengenal hijab dengan sempurna, sesuai dengan yang ada di al-Qur’an dan as-Sunnah. Dari sinilah ia beritikad untuk menyebarkannya pula pada warga yang ada disekitar kos nya. Meskipun ia belum tau, apakah hijab yang ia bagikan itu dipakai mereka atau tidak. Tapi hatinya berbisik, In syaa Alloh  meraka akan memakainya, karena sejatinya setiap kebaikan itu akan terlukis diangkasa raya. Terlebih, hijab-hijab yang dibagikan itu adalah hasil keringatnya sendiri.
Keesokan harinya, ia berangkat ke kampus, sepanjang jalan melihat teras rumah-rumah tetangganya, bungkusan yang dibagikannya kemarin sudah tidak ditempatnya, namun sebagian masih ada ditempatnya. Hatinya merasa ada yang berbeda, ada seikat bunga didalamnya. Sampai dikampus, ternyata sahabatnya telah menunggu.
“Afwan ukhti[1], Ana mutaakhirah”[2]
“La ba’sa[3], ukhti sudah sarapan pagi ?”
            Ia hanya menggeleng dan mereka pun pergi ke kantin. Sarapan pagi ini pun berbeda dengan biasanya. Walau hanya air putih dan nasi telur, nikmatnya tiada tandingannya dengan daging ayam dan makanan mewah lainnya, mungkin karena memakai uang hasil keringatnya sendiri. Dan ia memahami bagaimana sulitnya mencari uang dimasa yang serba perlombaan ini, walau pun disisi lain hatinya terkadang terusik, karena ia bekerja tanpa diketahui kedua orang tuanya. Namun ia memiliki alasan yang kuat, orang tuanya akan memberikan uang yang sangat banyak, dengan seperti itu ia takut akan masuk pada dunia hedonisme yang sedang genjar dibicarakn oleh para remaja, menghambur-hamburkan uang tanpa memandang manfaatnya melainkan melahirkan kemudhoratan yang sangat besar.  
“Ukhti, nanti sore di Mushola ada pengajian, ukhti akan datang kah?
“In Syaa Alloh ana datang. Ukhti, bolehkan ana bertanya?”
“Ada apa ukhti, apakah antum punya masalah? In Syaa Alloh saya akan membantu.”
“Ukhti, sudah empat bulan ini ana bekerja diswalayan dekat kampus, namun ana bekerja tanpa diketahui kedua orang tua ana, apakah ana melakukan sesuatu yang salah?”
“Ukhti, bekerja di tempat yang hahal itu sesuatu yang telah diwajibkan, namun restu dari orang tua itu teramat penting bagi semua anak, walaupun memiliki alasan yang sangat kuat.”
            Handponenya berdering, sang Ibu menelponnya.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam, Hima sekarang sedang di kampus?” suara sang ibu terdengar merdu ditelinganya.
“Iya bu, hari ini Hima masuk kuliah, Ibu dan Bapak sehat?”
“Alhamdulillah sehat, nanti siang Ibu dan Bapak mau pergi ke Kota, Ibu sudah kangen kamu nduk”.
“Iya bu, Hima tunggu di kos, aku juga kangen sama Ibu dan Bapak”
“Ya sudah nduk, belajarlah yang rajin biar sukses. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam”.  
     Setelah pulang kuliah, ia mengundurkan diri dari pekerjaannya, karena ia akan lai meninggalkan amanah kedua orang tuanya. Kini hatinya sepenuhnya tertutupi bunga-bunga. Karena sejatinya pula pembentukan akhlaqul karimah telah tertancap pada dirinya. Setibanya di kos, orang tuanya telah menunggu. Ia pun memeluk orang tuanya dengan pelukan yang sangat erat, air mata rindu mengalir dari ibunya. Sesaat kemudian adzan Ashar berkumandang. Ia dan orang tuanya pun beranjak  menuju mushola, ada air mata bahagia di sana, ibu-ibu pengajian datang dengan mengenakan hijab yang ia berikan beberapa hari yang lalu. Senyum serta tangis bahagia terlihat diwajahnya.        
S E L E S A I






[1] Panggilan untuk perempuan
[2] Maaf, Saya terlambat
[3] Tidak apa-apa

Sastra Puisi



Yogyakarta
Kota dengan seribu tanya
Mengapa aku selalu merindukannya?
Kota antara aku dengannya
Yang hanya meninggalkan duka
            Ribuan detik yang telah terlewati
            Tak kan pernah sanggup kuberhenti
            Menulis jejak yang terukir dihati
            Bagaikan kenangan yang sejati
Oh Jogya, gudegku tercinta
Aku bersapa dengannya dengan duduk bersila
Dibawah bintang dan bulan purnama
Kita mengukir nama dan masa dalam pena
            Ini bukan hanya kenangan biasa
            Karena bagiku, Ini catatan sejarah
            Karena bagiku, ini kenangan terindah
            Di kota Jogyaku yang tercinta
            Aku berlabu meraih ilmu

                                    Yogyakarta, 2015


 

Blogger news

Blogroll

About